Alternatif pengolahan lahan kering yang dapat dilakukan untuk mengatasi kendala-kendala yang ada antara lain : pengelolaan kesuburan tanah, pengelolaan air dan konservasi tanah, serta rehabilitasi tanah. Di Indonesia, isu dan permasalahan lingkungan yang terjadi saat ini semakin merebak dan banyak dikemukakan oleh berbagai pihak terutama yang menyangkut kerusakan sumber daya alam dan lingkungan. Hal tersebutlah yang dalam tulisan ini saya akan mencoba membuka wacana kita tentang paradigma lahan kritis yang terjadi di Indonesia.
Kondisi iklim di Indonesia, seperti curah hujan, dan suhu yang tinggi, khususnya di Indonesia bagian barat, menyebabkan tanah-tanah di Indonesia di dominasi oleh tanah berpelapukan lanjut seperti Ultisol dan Oxisols. Tanah-tanah ini secara alamiah tergolong tanah marginal dan rapuh dan mudah terdegradasi menjadi lahan kritis. Di sektor pertanian itu sendiri upaya untuk memanfaatkan lahan marginal seperti ini akan mengalami banyak kendala biofisik berupa sifat fisik yang tidak baik, kahat hara, keracunan unsur, hama dan penyakit. Sebenarnya faktor utama dari terdegradasinya fungsi lahan banyak disebabkan oleh interfensi manusia yaitu dengan pengelolaan yang tidak mempertimbangkan kemampuan dan kesesuaian lahan, sehingga jika tanah yang ingin dimanfaatkan secara berkelanjutan maka perlu adanya upaya pemanfaatan lahan secara arif sesuai dengan tingkat kemampuan lahannya.
Data dari Direktorat Bina Rehabilitasi dan Pengembangan Lahan tahun 1993 menunjukkan bahwa di Indonesia saat ini terdapat sekitar 7,5 juta hektar lahan yang tergolong potensial kritis, 6 juta hektar semi kritis dan 4,9 juta hektar tergolong kritis, ini menunjukkan bahwa tingkat pengelolaan lahan di Indonesia tergolong “Bobrok”. Inventarisasi lahan kritis sampai tahun 2000 di Indonesia mengeluarkan angka 8.075.514 hektar dari luas daratan Indonesia sebesar 21.944.595 hektar, atau dengan kata lain, 37% dari luas Indonesia adalah lahan kritis (sumber: Departemen Kehutanan dan Perkebunan tahun 2000). Hal ini merupakan sesuatu yang serius, dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan yang signifikan. Tentu saja ini akan mengancam keberlangsungan dari budidaya tanaman dan pertanian yang akan mengancam produksi pertanian dan terjadinya kerawanan pangan. Lahan kritis sendiri banyak ditemukan di Jawa Tengah yang merupakan lahan yang banyak digunakan untuk budidaya tanaman padi. Lahan kritis ini telah menyebabkan bencana yang frekuentatif dan selalu berulang akibat dari Gerakan Nasional Rehabilitasi Lahan Kritis yang memerlukan biaya sangat besar dan memerlukan data akurat sehingga tidak semua lahan kritis di suatu daerah dapat ditanami atau tidak tepatnya bibit serta metode penanaman yang salah yang menyebabkan gagal tanam Lahan kritis mempunyai kondisi lingkungan yang sangat beragam tergantung dari apa penyebab kerusakannya. Secara umum dapat dikatakan bahwa kondisi lahan kritis menyebabkan tanaman tidak cukup mendapatkan air dan unsur hara, kondisi tanah yang tidak memungkinkan untuk berkembangnya akar dan proses infiltrasi air hujan, kandungan garam yang tinggi akibat akumulasi garam sekunder dari atau intrusi air laut yang menyebabkan plasmolisis, atau tanaman keracunan unsur toksik, sehingga perlu adanya upaya yang mantap dan berkesinambungan dalam usaha pemanfaatannya. Sedangkan penyebab umum yang kita ketahui adalah erosi. Erosi dapat menyebabkan lapisan tanah atas yang relatif subur terangkut meninggalkan lapisan tanah bawah yang miskin hara. Seperti di Jawa Barat pernah diadakan proyek penutupan tanah yang “mati” akibat erosi dengan memindahkan masyarakat di daerah tersebut kemudian menghutankan kembali lahan yang baru ditutup tersebut.
Mengingat begitu luasnya lahan kritis serta laju degradasi lahan yang smakin besar, maka usaha-usaha untuk restorasi dan menekan laju lahan kritis sudah menjadi kewajiban bersama yang harus segera dilakukan. Usaha dalam penanganan permasalahan tersebut telah diupayakan secara fisik, kimia, dan biologi. Bentuk nyata dari upaya tersebut adalah pemanfaatan mikoriza guna memperbaiki kondisi tanah dan pertumbuhan tanaman serta proyek rehabilitasi lahan kritis dengan reboisasi atau penghutanan kembali, yang dilakukan secara besar-besaran oleh pemerintah hingga sekarang.
Berdasarkan pendekatan hal ini, upaya peningkatan produktivitas lahan kritis hanya akan dapat berhasil apabila masyarakat dilibatkan sebagai aktor utama serta mereka memperoleh peningkatan kesejahteraan dari kegiatan tersebut. Tanpa hal ini, program rehabilitasi lahan yang dicanangkan diramalkan tidak akan memberikan hasil yang memuaskan. Tanpa pelibatan masyarakat, siapa yang akan memelihara tanaman yang telah ditanam? Akan mustahil rasanya masyarakat yang miskin secara sukarela meluangkan waktunya untuk sesuatu yang tidak memberikan peningkatan kesejahteraan langsung bagi mereka.
Karena masyarakat merupakan aktor utama kegiatan, maka mereka harus diikutsertakan dari setiap tahapan kegiatan, mulai dari tahap perencanaan hingga implementasinya. Syukur-syukur kesadaran tentang pentingnya kegiatan rehabilitasi lahan kritis tersebut tumbuh diri masyarakat sendiri sehingga kepedulian untuk memelihara tanaman yang telah ditanam tetap tinggi.
Sesungguhnya pengikutsertaan masyarakat dalam kegiatan serupa telah lama dan banyak dilaksanakan, namun keikutsertaan tersebut cenderung sebagai objek atau hanya sebagai pekerja proyek di lapangan. Masyarakat tidak diikutsertakan dalam setiap tahapan sehingga kesadaran untuk tetap memelihara tanamannya setelah kegiatan penanaman berlangsung tidak tumbuh. Apalagi cerita akan terbangunnya kelembagaan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui kegiatan tersebut, sangat jauh dari harapan.
Sesungguhnya banyak pendekatan yang dapat digunakan untuk mengikutsertakan masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi lahan dan hutan tetapi salah satu yang cukup dikenal adalah sistem hutan kemasyarakatan. Pembangunan hutan kemasyarakatan didasarkan pada filosofi bahwa masyarakat tidak sekedar diberikan alternatif untuk tidak merusak hutan, melainkan diarahkan pada pemberian kesempatan dan kepercayaan untuk memanfaatkan sumberdaya hutan terutama hasil hutan non kayu sehingga tercipta interaksi positif antara masyarakat dan hutan melalui pengelolaan partisipatif.
Salah satu kegiatan dalam hutan kemasyarakatan yang dapat digunakan untuk rehabilitasi lahan adalah agroforestry (wana tani). Terdapat berbagai pola agroforestry yang dapat digunakan misalnya pola agrosilvopastural. Pola ini memadukan penanaman tanaman pertanian musiman, kehutanan, dan sumber pakan ternak sehingga cocok untuk digunakan untuk rehabilitasi lahan akibat pengembalaan yang berlebihan (over grazing). Pola lainnya adalah silvofishery yang menggabungkan kegiatan penanaman kehutanan dan perikanan sehingga pola ini dapat digunakan untuk merehabilitasi lahan mangrove misalnya.
Selain dua diatas masih terdapat pola-pola agroforestry lainnya, tetapi satu hal yang sama adalah bahwa penanaman pohon dilakukan bersamaan dengan berbagai jenis tanaman pertanian. Berbagai praktek agroforestry menunjukkan bahwa sistem ini memberikan dampak ganda berupa peningkatan kesejahteraan masyarakat di satu sisi dan peningkatan produktivitas lahan dan kelestarian hutan disisi lain. Selain memperoleh kesejahteraan dari tanaman pertanian semusim yang ditanam di antara tanaman kehutanan, teknik ini memberikan pengaruh positif terhadap produktivitas tanah berupa meningkatnya ketersediaan unsur hara dan bahan organik serta menekan laju erosi tanah.